Fenomena Hedonisme: Tinjauan Sosial dalam Kacamata Islam

 

Fakta Hedonisme di Era Modern

Fenomena hedonisme semakin marak di era modern. Media sosial, iklan digital, dan budaya konsumtif membuat banyak orang berlomba-lomba mengejar gaya hidup glamor. Tidak sedikit generasi muda yang merasa “berharga” hanya ketika bisa memamerkan barang bermerek, liburan mewah, atau gaya hidup yang tampak sempurna di layar gawai. Akibatnya, kesuksesan seolah diukur dari materi dan kesenangan sesaat, bukan dari ilmu, akhlak, maupun kontribusi sosial. Dalam jangka panjang, pola hidup seperti ini menimbulkan kesenjangan sosial, depresi, dan hilangnya makna hidup.


Akar Masalah Hedonisme

Ada beberapa perkara cabang yang melahirkan hedonisme. Dari sisi sosial, teknologi dan media menciptakan budaya “instan satisfaction” serta rasa takut tertinggal tren (FOMO - fear of missing out). Dari sisi ekonomi, kapitalisme mendorong konsumsi berlebihan demi menegaskan status sosial. Para sosiolog seperti Veblen menyebutnya “konsumsi mencolok”, sementara Bauman menekankan bahwa liquid modernity membuat manusia mencari pelarian dalam kesenangan instan.


Dari perspektif Islam, akar masalah hedonisme ialah kehidupan bermasyarakat di atur berdasarkan pandangan sekularisme, yang menghantarkan pada lemahnya iman dan terkikisnya kesadaran akan hakikat kehidupan dunia. Allah memperingatkan:

أَلْهُكُمُ التَّكَاثُرُ (١) حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ 
"(1) Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu') (2) sampai kamu masuk ke dalam kubur." (At-Takasur Ayat 1-2)

Dalam tafsir al-Kasyaf karya Imam az-Zamakhsyariy dijelaskan:

.أَلْهَاهُ عَنْ كَذَا وَأَقْهَاهُ: إِذَا شَغَلَهُ. وَ "التَّكَاثُرُ" التَّبَارِي فِي الْكَثْرَةِ وَالتَّبَاهِي بِهَا، وَأَنْ يَقُولَ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَكْثَرُ، وَهَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَكْثَرُ.
"Kata أَلْهَاهُ عَنْ كَذَا وَأَقْهَاهُ berarti "jika sesuatu telah melalaikannya dari hal lain". Adapun التَّكَاثُرُ (at-takatsur) berarti berlomba-lomba dalam memperbanyak (harta, anak, dan pengikut) serta berbangga diri dengan banyaknya itu, seperti ketika satu kelompok berkata: "Kami lebih banyak (jumlahnya),", dan kelompok lain berkata pula: "Kami lebih banyak (jumlahnya)."

 ...وَالْمَعْنَى: أَنَّكُمْ تَكَاثَرْتُمْ بِالْأَحْيَاءِ حَتَّى إِذَا اسْتَوْعَبْتُمْ عَدَدَهُمْ صِرْتُمْ إِلَى الْمَقَابِرِ فَتَكَاثَرْتُمْ بِالْأَمْوَاتِ.
  وَالْمَعْنَى: أَلْهَاكُمْ ذَلِكَ وَهُوَ مِمَّا لَا يَعْيِنُكُمْ وَلَا يُجْدِي عَلَيْكُمْ فِي دُنْيَاكُمْ وَآخِرَتِكُمْ عَمَّا يُعِينُكُمْ مِنْ أَمْرِ الدِّينِ الَّذِي هُوَ أَهَمُّ وَأَعْنَى مِنْ كُلّ مُهِمٍّ. أَوْ أَرَادَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ بِالْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ إِلَى أَنْ مُتُّمْ وَقُبِرْتُمْ. مُنْفِقِينَ أَعْمَارَكُمْ فِي طَلَبِ الدُّنْيَا وَالِاسْتِبَاقِ إِلَيْهَا وَالتَّهَالُكِ عَلَيْهَا، إِلَى أَنْ أَتَاكُمُ الْمَوْتُ لَا هَمَّ لَكُمْ غَيْرُهَا، عَمَّا هُوَ أَوْلَى بِكُمْ مِنَ السَّعْيِ لِعَاقِبَتِكُمْ وَالْعَمَلِ لِآخِرَتِكُمْ.
"Maknanya ialah: Kalian telah saling bermegah-megahan dalam jumlah orang hidup, hingga ketika telah kalian hitung semuanya, kalian pun pergi ke kuburan untuk menghitung yang telah mati. Makna keseluruhannya adalah: Kelalaian itu telah melalaikan kalian dari hal yang tidak berguna bagi kalian, baik di dunia maupun di akhirat, dan membuat kalian berpaling dari hal-hal yang benar-benar bermanfaat bagi urusan agama kalian, yang jauh lebih penting dari segala urusan dunia. Atau bisa juga dimaknai: Perlombaan dalam memperbanyak harta dan anak telah melalaikan kalian sampai datang kematian dan kalian dikubur. Kalian menghabiskan umur untuk mengejar dunia, saling berlomba untuk mendapatkannya, hingga datang kematian sementara kalian tidak punya kepentingan selain dunia itu, padahal ada yang lebih layak kalian usahakan — yaitu akhirat kalian dan amal untuk kehidupan kekal di sana."

Solusi Islam terhadap Hedonisme

Islam menawarkan solusi yang sangat argumentatif dan syar’iy untuk melawan budaya hedonis.

Pertama, umat Islam dianjurkan untuk sering mengingat hakikat kehidupan dunia dan banyak mengingat kematian, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi).

setelah kematian ada hari pertanggungjawaban atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu, hakikat kehidupan dunia ini ialah menjalani aktivitas di kehidupan dunia dengan keyakinan dan ketaatan kepada Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan yaitu Allah تعالى, berpegang teguh pada pedoman hidup yang wahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah.

Kedua, Islam menekankan pentingnya qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada, serta menjadikan dunia sebagai sarana menuju akhirat, bukan tujuan utama hidup.

Ketiga, Islam mengajarkan etika konsumsi: hanya mengonsumsi yang halal dan thayyib, menjauhi tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan). Rasulullah ﷺ memberi teladan hidup sederhana, meski beliau mampu memiliki harta yang lebih.

Keempat, perlu penguatan nilai maqaṣid syari‘ah, bahwa menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan hanya bisa dicapai bila manusia menjauhkan diri dari gaya hidup berlebihan.

Dengan kata lain, melawan hedonisme bukan sekadar pilihan moral, tapi kewajiban syar’i demi menjaga kelestarian hidup umat.


Penutup

Hedonisme adalah fenomena sosial yang nyata di sekitar kita. Ia lahir dari kehidupan sekularisma yang menyuburkan budaya konsumerisme modern, namun secara individu bila diakibatkan oleh lemahnya iman dan pemahaman terhadap hakikat dunia. Islam hadir dengan solusi komprehensif: mengingat kematian, hidup sederhana, qana’ah, serta menjadikan dunia sebagai jalan menuju akhirat. Dengan kembali pada nilai-nilai Qur’an dan Sunnah, umat Islam bisa terhindar dari jebakan hedonisme dan membangun peradaban yang seimbang antara dunia dan akhirat.

LihatTutupKomentar